Akhirnya pagipun datang disambut siulan burung disamping kamarku. Aku lalui hari ini dengan penuh semangat, karena hari ini adalah hari pertama aku di kampus. Aku sudah melalui hari-hari orientasi yang sangat melelahkan dan lumayan menyiksa. Dan sekarang aku sudah bisa bernafas lega bisa terbebas dari mereka, senior-seniorku yang galak di OSPEK kemarin.
“Nay, apa kabar?”, seorang perempuan memanggilku dari kejauhan. Wajahnya tak asing lagi. Ya, namanya Putri. Kenalanku sewaktu OSPEK.
“Baik. Kamu apa kabar?”, tanyaku balik.
“Aku juga baik. Kamu mahasiswa Ilkom kan?”, putri mulai cerewet dan itulah karakter putri.
“Iya. Kenapa”, tanyaku santai.
“Kamu kenal sama Jovan?? Dia ganteng banget”, Putri mulai berhayal-hayal dan kecentilan dan membuatku tak kuat menahan tawaku.
“Jovan? Kita kan baru masuk kuliah hari ini Putri, gimana aku bisa kenal?”, tanyaku mengejek Putri yang semakin kecentilan.
“Upss.. Iya juga ya, kenapa baru sadar? Kamu bantu aku ya kalo ntar kamu udah kenal sama dia”, aku hanya mengiyakan saja permintaan Putri karena aku sudah tahu sifat ke kanak-kanakan Putri.
“Eh Nay, aku duluan ya. Temen-temenku pasti udah nungguin aku”, kata Putri pamitan dengan gaya centilnya. Dan akhirnya aku lega terbebas darinya dan aku bisa lebih santai lagi menuju Fakultasku.
“Nay, tunggu”, teriak seorang perempuan dari bawah. Ternyata Vio, teman SMA aku yang kebetulan juga satu kampus denganku sekarang.
“Vio, kelas kamu di atas juga?”, tanyaku senang bertemu dengan Vio.
“Bukan, aku di bawah”, kata Vio terengah-engah kelelahan berlari mengejarku.
“Nay, kamu kenal sama Jovan gak?”,pertanyaan itu membuatku mengernyitkan dahi. Pagi ini sudah ada dua orang yang menanyakan orang yang sama.
“Jovan lagi. Seperti apa sich orangnya? Tadi Putri yang tanya, sekarang sobatku sendiri ikutan tergila-gila sama Jovan. Heran deh..”, dan aku penasaran seperti apa Jovan sebenarnya? Sampai-sampai Vio juga jadi seperti ini.
“Jadi kamu belum kena? Ya udah deh. Aku ke kelas dulu ya.. Daaahhh”, Vio langsung ke kelasnya dengan tampang cemberut.
“Eh, langsung pergi aja. Cuma mau tanya itu aja?”, teriakku dan Vio tidak menghiraukan teriakanku.
“Hmmm… Semuanya tanya Jovan, dan Vio bela-belain ngejar aku hanya untuk menanyakan Jovan. Heran banget”, batinku. Dan setibaku di kelas, aku tidak melihat sosok laki-laki yang membuat aku terpesona. Itu berarti kalaupun ada yang namanya Jovan di kelas ini, ketampanan yang diceritakan Putri dan Vio tidak membuatku terpesona. Aku mencari tempat kosong, dan menghampiri satu kursi di belakang yang hanya tertinggal. Perkuliahan hari itu hanya perkenalan saja dan dari situ aku tahu teman-teman baruku.
Dan Oh My God.. Nama yang baru saja dibacakan dosen membuatku kaget. “Jovan”. Nama cowok yang sudah tidak asing ditekingaku dan ternyata dia satu kelas denganku. Dia memang ganteng, tapi apa yang membuat cewek terpesona padanya? Kalo hanya karena tampang, ah aku pikir biasa saja. Dan memikirkan itu membuat aku tersenyum tipis mengingat tingah putri dan Vio pagi tadi.
Tak sampai jam kuliah selesai, dosen dikelasku sudah menutup kelas karena tidak ada materi di perkuliahan pertama ini. Dan sangat kebetulan kuliahku hari ini tidak begitu padat. Dan di akhir kuliahku, aku segera beranjak untuk segera ke kantin karena perutku sudah teriak-teriak sedari tadi minta diisi. Tapi langkahku terhenti saat terdengar namaku disebut.
“Nay”, aku menoleh dan ternyata Jovan. Aku hentikan langkahku sejenak karena dia adalah teman baruku juga disini.
“Nay, mau pulang?”, tanya Jovan padaku. Dan aku hanya tersenyum saja.
“O iya, namaku Jovan”, dia mengenalkan dirinya padaku. Aku pandangi Jovan, mencari satu yang menarik pada dirinya sampai-sampai digandrungi banyak orang, tapi belum aku temukan.
“Nay..”, sapanya ketika aku sedang memandangnya.
“Oh iya, aku mau makan dulu baru pulang”, jawabku yang tersadar dari lamunanku.
“Kalo gitu makan bareng aja. Boleh?”, pintanya padaku dan aku mengiyakannya. Aku mengajaknya makan siang di kantin kampus saja.
“Van, tadi pagi aku ketemu temen-temenku. Anehnya mereka berdua menanyakan orang yang sama yaitu kamu”, kataku memulai pembicaraan di meja makan kantin.
“Ada apa dengan aku? Ada yang salah ya?”, tanyanya heran sambil tertawa.
“Entah lah, kaya’nya mereka terpesona melihat kamu”, jawabku santai.
“Kamu sendiri?”, Jovan membalikkan pertanyaan padaku dan membuat aku sontak tertawa.
“Hahahaha… Aku? Ya gak lah. Kenal aja baru beberapa jam yang lalu. Mana ada aku terpesona? Liat dari mana bisa terpesona sama kamu. Kamu biasa aja kok. Gak ada yang menarik perhatianku. Hahaha”, kataku pada Jovan dengan nada bercanda.
“Hahahaha… Aku? Ya gak lah. Kenal aja baru beberapa jam yang lalu. Mana ada aku terpesona? Liat dari mana bisa terpesona sama kamu. Kamu biasa aja kok. Gak ada yang menarik perhatianku. Hahaha”, kataku pada Jovan dengan nada bercanda.
“Karena aku ganteng mungkin”, katanya dan sontak membuat aku tersendat.
“Hah?? Hahahahahahaha… Kamu lucu ya. PD banget”, kataku sambil tertawa. Jovan juga terbahak-bahak mendengarku.
Usai makan siang bersama Jovan, aku langsung pulang dan merebahkan badanku. Teringat kejadian beberapa jam yang lalu, aku teringat diaryku yang sudah biasa menemaniku di kamar ini.
Dear Diary …Hari pertamaku di kampus aneh, lucu, dan senang. Senangnya aku punya banyak teman-teman baru, terutama di Ilkom, anehnya, pagi-pagi sebelum aku masuk kelas, ada dua cewek menanyakan satu cowok yang sama, lucunya ternyata cowok itu temen sekelasku dan lebih lucu lagi saat aku makan sama cowok itu….Hmmm…. Bener-bener hari yang menyenangkan dan menggelikan.
Tak banyak menulis di diaryku, mama teriak dari lantai bawah.
“Nay, ada Vio di bawah”, teriak mama dan aku langsung menemui Vio dan mengajaknya ke kamar.
“Nay, kamu jahat”, kata Vio tiba-tiba. Aku kaget, tiba-tiba saja Vio bemberut melihat aku.
“Kamu kenapa Vi?? Tumben cemberut sama aku? Baru tadi pagi lari-lari ngejar aku”, kataku mengejeknya sambil ketawa.
$0A“Kamu makan bareng sama Jovan kan tadi siang? Kok gak ngajak aku sih? Kamu kan sudah tahu kalo aku pengen kenal sama dia?”, Vio merengek sambil memukuliku manja.
“Ya ampun Vio. Itu yang bikin kamu kesel sama aku? Mana aku tahu kalo dia mau ikut makan sama aku. Lagian aku harus ke kamu dulu gitu? Aku udah laper Vi”, kataku sambil tertawa.
“Besok harus temenin aku. Besok harus kenalin aku sama dia”, kata Vio padaaku.
“Iya, gampang. Tapi jangan cemberut terus dong”, kataku pada Vio. Viopun tertawa. Vio memang sahabatku sejak SMA. Dia yang selalu mendengarkan cerita-ceritaku. Meskipun dia masih seperti anak kecil, dia bisa dewasa saat mendengar curhatku.
***
Pagi ini, aku mengajak Vio berangkat ke kampus bersama-sama dan ternyata aku benar-benar bertemu dengan Jovan. Vio sudah kegirangan melihat Jovan.
“Van”, aku memanggil Jovan yang baru saja datang. Jovan menghampiri aku.
“Baru datang juga”, tanyanya padaku.
“Iya nih. O ya, kenalin temenku. Dia temenku sejak SMA. Dia anak Biologi”, aku mengenalkan Vio pada Jovan.
“Vio. Senang bertemu dengan kamu”, kata Vio sok manis di depan Jovan.”
Dan Jovan mambalas memperkenalkan dirinya.
“O ya Nay, aku aku duluan ya, temenku udah nunggu”, kata Jovan dan langsung pergi begitu saja.
“Hah, Cuma gitu aja? Tampang aja ganteng. Gak jadi naksir deh. Masa’ aku dicuekin”, Vio ngomel di belakangku.
“Itu Jovan. Dia emang kaya’ gitu. Katanya terpesona? Kok ngomel?”, tanyaku mengejek Vio.
“Gak jadi deh. Aku ke kelas dulu Nay. Kecewa berat nih..”, kata Vio dan langsung meninggalkan aku ke kelasnya. Akupun tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Vio yang selalu aneh itu.
***
Sudah sekitar 1 bulan aku ada di Bandung, selain kuliah, aku juga disibukkan dengan organisasi kampus yang aku geluti. Di organisasi itu aku bertemu dengan seseorang yang sudah membuat aku selalu terbayang-bayang akan dia. Aku suka kepiawaiannya. Namanya Mogi. Dia adalah teman satu tingkatku. Dia pendiam, jika tak penting, dia tidak akan bicara. Itu yang membuat aku suka sama dia. Meskipun seolah dia tidak pernah tahu kalo aku suka sama dia, aku masih tetap menjaga hatiku untuk dia. Itu pula yang membuat aku semangat dalam organisasi ini.
Disisi lain, salah satu temanku malah menjodoh-jodohkanku dengan Jovan yang sama sekali tak menarik perhatianku. Dan akupun tak begitu menggubrisnya begitu juga dengan Jovan. Aku melihatnya juga biasa-biasa saja. Sesekali dia sengaja duduk disampingku dan membiarkan teman-teman rame sendiri melihatku.
“Nay, Vio anak biologi kan? Dia kenal sama Mita nggak ya?”, tanya Jovan padaku.
“Mita? Nanti aku tanyain deh..”, kataku pada Jovan.
“Hmm… Temen-temen, ada gossip baru. Jovan jadian sama Nay”, teriak Vino teman sekelasku yang memang gokil habis. Sontak teman-teman melihat ke arahku yang sedang berbicara dengan Jovan. Aku kaget, tapi Vino sudah biasa bertingkah seperti itu
“Udah, gak usah didengerin”, kata Jovan dan langsung menjauh dari aku. Akupun memang tidak menggubrisnya karena aku memang tidak memiliki perasaan apapun padanya. Aku tidak banyak berkomentar dengan gossip itu. Dan aku sebenarnya tidak pernah tahu bagaimana perasaan Jovan sebenarnya. Karena kita sesuangguhnya hanyalah partner, teman baik yang selalu bercanda gurau bersama-sama. Memang terlihat ada yang aneh dengan sikap Jovan terhadapku, tapi aku tidak begitu mempedulikannya karena perasaanku masih pada Mogi.
Sepulang dari kampus, aku masih duduk-duduk di taman kampus menunggu Vio yang dari tadi belum datang-datang juga san sudah membuatku kesal.
“Hey, ngapain?”, tanya seseorang yang menyapaku dan tidak lain adalah sahabat Jovan. Namanya Gandi.
“Eh, Gandi. Aku lagi nunggu Vio nih, lama banget”, kataku pada Gandi. Gandi adalah sahabat Jovan yang kabarnya suka sama aku. Tapi aku anggap itu angin lalu karena aku hanya menganggapnya sebagai temanku saja.
“Aku temenin ya. Gak pa-pa kan”, dia duduk di depanku menemani aku menunggu Vio. Dia teman yang baik. Dia sangat friendly, tidak hanya padaku, tapi dengan teman-teman yang lain pula, jadi tidak perlu heran kalo dia banyak teman.
“Nay, kamu jadian sama Jovan?”, tanya Gandi memulai topik pembicaraan.
“Hah? Jadian? Kamu kemakan omongan temen-temen. Ya gak lah. Bukannya Jovan udah punya cewek ya? Emang dia gak pernah cerita sama kamu? Kita cuma temenan aja”, jawabku santai. Karena aku memang tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan Jovan.
“Eh, udah dari tadi ya nunggu aku?”, Vio tiba-tiba datang dan mengagetkan aku.
“Eh, ada Gandi. Pa kabar? Wah, aku ganggu nih”, kata Vio menyapa Gandi
“Ah apaan? Kita kan lagi nungguin kamu dari tadi. Aku ngga’ sengaja lewat sini, ketemu Naura. Aku temenin kasian nunggu kamu sendirian disini. Kamu sih kelamaan”, kata Gandi dengan gaya bercandanya yang khas yang membuatnya banyak teman.
“Hmm.. Masa’ sih? Ya Sorry deh”, Vio mengejek Gandi
“Ah, stress aku deket-deket kamu. Aku pulang duluan deh”, kata Gandi pada Vio dan pamitan sama aku. Begitu terlihat Gandi sudah jauh, Vio langsung nyeletuk.
“Nay, sadar gak sih, dia kan suka sama kamu”, kata Vio padaku
“Aku udah tahu. Tapi dia gak pernah ungkapin sama aku, aku hanya menganggapnya sebagai teman saja karena aku gak ada perasaan apa-apa sama dia”, jawabku pada Vio.
“Oya, kamu kenal sama Mita? Dia juga anak Biologi”, sambungku
“Mita? Kenal banget lah. Dia temen sekelas aku. Kenapa tanya dia?”, tanya Vio dan ternyata Mita teman Vio.
“Gak ada apa-apa. Cuma Tanya aja”, dan kitapun melanjutkan perjalanan yang rencananya kita akan ke studio teater. Di perjalann menuju studio, aku melihat Mogi bersama perempuan dan kebetulan pula banyak teman-teman organisasi disana.
“Itu pacarnya Mogi. Baru beberapa hari lalu jadian”, dan jawaban Beni benar-benar menyayat hati. Aku kaget mendengarnya dan akhirnya aku mengurungkan niatku ke studio.
“Vi, kita pulang saja ya. Aku capek nungguin kamu dari tadi”, kataku pada Vio berusaha menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya.
Dan Vio menuruti kemauanku dan Vio mengantarku pulang.
“Dan mulai saat ini, tidak ada lagi nama Mogi karena dia sudah bahagia dengan pilihannya”, batinku menenangkan diri yang sedang kalut.
**)
Sudah satu minggu dari kejadian itu, dimana aku benar-benar kalut seteah mendengar Mogi sudah punya pacar, dan aku sudah jarang datang ke stan organisasiku. Aku memilih menjauh dari Mogi. Dan aku sibukkan hari-hariku di perkuliahan agar aku bisa melupakan Mogi.
“Hey, kaya’nya akhir-akhir ini murung terus. Kenapa?”, sapa Jovan menghampiriku yang sedang menlamun di kelas.
“Gak ada apa-apa. Something Wrong in my heart”, kataku singkat
“Ah, gak usah dipikirin, ntar malah ganggu kuliah kamu. Masalah cowok aja dipikirin. Kan masih ada aku, ada Gandi juga”, kata Jovan dengan sedikit ejekan saat menyebut nama Gandi. Jovan malah membuat aku lebih tenang di saat aku sangat membutuhkan teman.
“Van, ntar temen-temen bikin gossip-gosip lagi. Udah sana balik ke tempat kamu”, kataku menyuruh Jovan meninggalkan aku sebelum banyak yang menyebarkan gossip-gosip.
“Biarin aja. Aku suka mereka seperti itu. Ayo ke kantin, biar mukamu bisa sedikit cerah lagi”, ajak Jovan tanpa menunggu persetujuanku terlebih dahulu, dia sudah menarikku ke kantin.
“Nay, Gandi udah ngutarain perasaannya sama kamu?”, aku kaget tiba-tiba saja Jovan menanyakan hal itu padaku.
“Perasaan apa? Gak ada apa-apa tuh”, kataku singkat
“Kamu gak tahu apa pura-pura gak tahu?”, kata Jovan menyindirku.
“Kenapa sich? Iya aku tahu. Tapi kenapa harus aku?”, tanyaku pada Jovan.
“Aku tidak mau Gandi mengungkapkan perasaannya sama aku karena aku hanya ingin jadi temannya saja”, sambungku kemudian.
“Dia suka sama kamu, sudah sejak lama Nay”
“Lalu?”, potongku
“Kamu gimana sih? Kasian kan dia.”, kata Jovan
“Kasian? Jadi aku harus ngerespon dia dan hanya karena kasihan saja? Kamu gimana sich sebagai sahabatnya? Aku gak cinta sama dia. Kamu bisa ngerti kan perasaanku?”, kataku ketus pada Jovan. Jovan diam saja mendengarkan aku.
“O iya, kemarin kamu nanya’ Mita kan? Aku udah tanya sama Vio. Mita teman sekelas Vio”, aku mengatakannya dengan ketus pula.
“Oo.. Kamu udah tahu sama orangnya? Cantik kan?”, tanyanya padaku
“Gak, aku gak tahu. Mau cantik kek, mau gak, bukan urusanku kan?”, aku sedikit kesal sama Jovan karena dia tidak mengerti perasaanku. Dan sejenak aku melihat Jovan memandangku dengan tatapan berbeda.
“Hey.. Kenapa mandangin aku gitu?”, tanyaku pada Jovan ketus.
“Kamu kenapa sich? Cemburu aku ngomongin Mita”, Jovan malah tambah membuat aku kesal saja. Menanyakan hal yang tak seharusnya dia tanyakan.
“Aku pulang dulu deh. Lagi males ngobrol sama kamu”, akupun meninggalkan Jovan dan langsung pulang. Dan ternyata meski Jovan sudah sedikit menenangkanku, tapi malah membuatku kesal juga.
**)
Malam ini, aku merenung sambil memainkan piano di kamarku. Mengingat masa-masa silamku dengan alunan piano. Handphoneku bordering dan ternyata dari Jovan
Nay, kamu marah sama aku?Aku minta maaf ya? Aku bener-bener minta maaf.Jangan marah ya. Aku Cuma kasian sama Gandi.Dia rela lakukan apapun untuk kamu.Aku tahu bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan kamu.Dan aku takut hanya gara-gara aku dia mundur.Maafin aku ya Nay….
“Kenapa Jovan mengirimkan pesan seperti ini?”, aku bergumam dalam hati berfikir dan heran dengan kalimat dalam pesan itu. Ada sedikit keganjalan dalam pesan Jovan. Di kalimat “dan aku takut hanya gara-gara aku dia mundur”. Tapi sudah lah,, terserah maksudnya apa. Dan akupun membalas pesan Jovan yang masih terasa aneh itu.
"Jovan, justru aku yang minta maaf udah sensi sama kamu tadi. Aku ada sedikit masalah”,
Hanya pesan singkat itu yang aku kirimkan pada Jovan dan langsung aku matikan handphoneku karena malam itu aku ingin bisa tidur karena jam sudah menunjukkan jam 2 dini hari dan mungkin dengan mematikan handphone, aku bisa tertidur.
**(
Pagi ini bukan keberuntunganku, malah apesnya aku karena aku harus lari ke kelas karena bangun kesiangan tadi. Dan ternyata tidak hanya aku yang datang terlambat, ternyata aku melihat Jovan juga baru datang.
“Nay, dosennya udah dateng ya?”, kata Jovan yang baru saja dari tangga.
“Iya tuh udah masuk”, jawabku singkat karena terburu-buru masuk kelas. Tapi tiba-tiba Jovan menarik tanganku.
“Nay, tunggu. Masuknya barengan aja”, kata Jovan sambil memegang tanganku. Ada pandangan berbeda pada dirinya. Dan akupun segera menjauhkan pikiran aneh dalam benakku karena aku harus cepat masuk kelas. Dan begitu aku dan Jovan masuk, semua mata terarah padaku dan Jovan.
“Oh My God... Kenapa aku baru sadar kalo aku masuknya barengan sama kamu. Bisa jadi gosip besar nih” , bisikku pada Jovan.
Dan sudah pasti teman-teman menyoraki aku dan Jovan. Lebih-lebih Vino yang suka bikin gaduh.
“Hmmmm… Jovan berangkat bareng sama Naura? Janjian ya? Bener-bener pasangan yang serasi”, kata Vino. Aku terdiam dan sejenak aku curi-curi pandang, memandang Jovan yang sedang ngobrol bersama temannya. Dan salah satu temanku membisiki aku.
“Nay, beneran kamu udah jadian sama Jovan?”, tanya Feni teman sekelasku.
“Nggak, Vino tu biang gossip”, kataku ketus.
“Tapi cocok lo. Keliatan juga dari sikap Jovan saat mandang kamu. Sering lo dia mandangin kamu, tapi kamunya aja yang gak peka”,kata Feni. Aku kaget mendengar Feni bilang Jovan sering mandangin aku. Tapi aku cuek saja karena aku gak mau temen-temen semakin menggila menggosipkan aku dengan Jovan karena aku takut Gandi sampai mendengar kabar-kabar aku dan Jovan. Aku tahu dia pasti sangat sakit kalo tahu gosip aku sampai jadian sama Jovan.
“Jadian? Apaan sich? Kenapa aku malah mikirin Jovan? Gak mungkin kan aku suka sama Jovan?”, aku bergumam dalam batinku. Dan aku biarkan saja mengalir seiring berjalannya waktu.
**)
Dan hari demi hari Jovan semakin akrab denganku, apalagi aku sudah tidak pernah ke organisasi lagi dan aku sudah melupakan Mogi. Setiap saat handphoneku bordering itu tidak lain adalah pesan dari Jovan.
Jovan dan Gandilah yang bisa dibilang teman dekatku sekarang. Suatu saat, sepulang kuliah aku bertemu dengan Gandi, dia mengajakku ngobrol sambil menuju kantin.
“Nay, kamu suka sama Jovan? Kelihatannya akhir-akhir ini kamu sudah mulai dekat dengan Jovan”, dia bertanya dan membuatku bingung menjawabnya karena aku tahu Gandi suka sama aku. Seandainya aku bilang tidak, aku yakin dia pasti tambah mengharapkan aku, tapi kalo aku bilang iya, apa iya aku suka sama Jovan? Segala opini berkecamuk di dalam hati.
“Hmmm.. Emang kelihatannya gitu ya? Aku juga gak tahu deh?”, jawabku singkat. Aku sudah tidak punya jawaban lagi selain itu.
“Ya kelihatannya seperti itu. Tapi aku juga gak tahu. Jovan selalu bilang gak ada apa-apa di antara kalian”, kata Gandi padaku
“Nah itu dia jawabannya. Emang gak ada apa-apa”, aku mengiyakan jawaban Jovan yang diceritakan Gandi barusan. Tiba-tiba Jovan datang dan Gandi memanggilnya.
“Van, disini aja gabung sama kita”, teriak Gandi memanggil Jovan. Jovan menghampiri kita.
“Eh, kamu lagi sama Naura? Aku disana aja deh biar gak ganggu kalian disini”, kata Jovan berusaha menghindari aku dan Gandi.
“Jangan dong Jovan, temenin kita disini. Aku gak enak berdua sama Gandi”, batinku.
“Ngga’. Kaya’ kita lagi ngapain aja. Duduk sini aja. Ayo makan bardng disini”, dan Jovan mengiyakan permintaan Gandi. Jovan melirikku saat akan duduk. Aku sedikit salah tingkah jadinya meskipun akhirnya Jovan memilih duduk bersama kita, tapi rasanya ada yang beda dengan perasaanku pada Jovan.
“Hey, pada kumpul disini? Gabung ya?”, tiba-tiba Vio datang menghampiri aku dan lengkap sudah. Aku seneng banget akhirnya aku punya teman ngobrol untuk menutupi salah tingkahku dari tadi.
“Eh Vio, ayo duduk sini. Dari mana aja dari tadi?”, tanyaku memulai pembicaraan. Dan akhirnya aku bisa enak banget ngobrol sejak ada Vio. Dan aku menyadari sesekali Jovan memandangku saat Gandi lengah tak memperhatikannya. Hmmm… ada apa sebenarnya?
“Nay, pulang yuk”, ajak Vio dan dia kembali menyelamatkanku karen` sedari tadi aku memang ingin segera angkat kaki dari tempat ini.
“Ayo deh. Jovan , Gandi, kita pulang duluan ya.. Besok-besok bisa lah makan bareng lagi, syukur-syukur ada yang traktir”, candaku pada mereka dan akupun langsung pulang.
“Vio, kamu benar-benar penyelamatku. Aku udah dari tadi pengen pulang”, kataku pada Vio setelah jauh dari Jovan dan Gandi.
“Aku paham ko’. Makanya aku ajak kamu pulang”, kata Vio senyam senyum.
Tiba-tiba handphoneku berdering saat sedang berjalan pulang. Dan pesan dari Jovan.
Seneng ya bisa makan berdua dengan Gandi
Dan hanya pesan singkat itu yang dikirimkan Jovan padaku. Dan itu penuh arti yang gak bisa aku mengerti. Apa iya Jovan suka sama aku? Dan beberapa menit kemudian, Jovan kembali mengirimkan pesan padaku.
Tunggu aja besok kejutan dari Gandi
Aku semakin tidak mengerti maksudnya. Seorang Gandi yang tidak pernah aku cinta. Aku hanya menganggapnya sebagai teman saja.
“Handphonemu bunyi terus dari tadi. sapa sih”, tanya Vio penasaran.
“Ah, bukan siapa-siapa. Temen aja”, kataku gugup. Dan Vio hanya mengangguk saja.
“Vi, aku ke rumahmu aja ya. Aku lagi butuh temen”, kataku pada Vio.
“Oke deh..”
**)
Duduk di pintut kamar Vio yang langsung menghadap taman luas membuat hati semakin tenang, menikmati indahnya taman.
“Nah lo, ngelamun aja. Mikirin sapa sih?”, tanya Vio mengagetkanku.
Aku tersenyum pada Vio, bingung hendak cerita pada Vio dari sisi yang mananya.
“Vi, kamu bisa jelasin gak apa yang aku rasakan sama Jovan?”, kataku memberanikan diri menanyakannya pada Vio.
“Nay..Nay.. Kamu malah tanya Jovan. Kamu suka sama dia?”, tanyanya balik.
“Nay..Nay.. Kamu malah tanya Jovan. Kamu suka sama dia?”, tanyanya balik.
“Aku tanya sama kamu, malah kamu tanya balik”, sanggahku.
“Nay, aku dapat pesan dari Gandi, dia bilang dia suka sama kamu. Tapi kok yang kamu ceritakan malah Jovan? Dan dari cerita kamu, kelihatan banget kalo kamu dan Jovan juga saling mencintai. Kalian lucu ya. Jovan juga, dia suka sama kamu, tapi malah ngedukung Gandi. Aneh. Emang Jovan itu aneh kok”, dan aku masih tak percaya apa yang dikatakan Vio barusan. Benarkah aku mencintai Jovan?
**)
Sehari ini kerjaanku hanya berputar di kampus, mencari dosen yang sedari tadi belum ketemu juga. Hingga aku banar-benar lelah dan harus beristirahat terlebih dahulu. Dan aku tertegun Gandi sudah ada di depanku.
“Nay, mau kemana?”, sapanya singkat.
“Aku lagi cari dosen sedari tadi. Kamu sendiri mau kemana? Ada kuliah?”, tanyaku basa basi dan aku teringat pesan Jovan semalam dan membuatku sedikit kebingungan.
“Aku main-main aja ke kampus. O ya, ada waktu gak sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu”, ajak Gandi dan membuat aku mengurungkan niatku untuk ke kantin. Aku mengikuti langkah Gandi dari belakang dan ternyata Gandi mengajakku ke taman kampus.
“Ada apa Gandi?”, kataku penasaran.
“Nay, aku tahu aku gak seharusnya bicarakan ini sama kamu. Tapi aku harus bilang dan menerima resikonya. Aku suka sama kamu,. Kamu mau jadi pacar aku?”, Degggg… Jantungku seperti berhenti berdenyut begitu mendengar Gandi menyatakan perasaannya sama aku. Aku bingung harus jawab apa. Dan mulutku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Aku tahu kamu gak suka sama aku. Dan apapun jawaban kamu, aku terima dan jika kamu nolak aku, aku harap persahabatan kita tidak akan pernah rusak hanya karena ini”, Gandi terdiam kemudian menunggu aku menjawabnya. Dan aku harus bisa ngomong dan jujur sama Gandi. Itu lebih baik dari pada aku menerimanya tapi aku tak pernah mencintainya.
“Gandi, aku minta maaf, aku gak bisa terima kamu. Aku anggap kamu sahabat aku dan aku lebih suka kalo kita sahabatan saja. Maaf ya Gandi. Kamu gak marah kan?”, kataku terbata-bata. Aku tekadkan untuk menjawabnya.
“Ya gak pa-pa lah. Aku kan gak mungkin maksa kamu suka sama aku. Aku sudah tahu jawaban kamu. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku saja dan aku lega sudah mengungkapkannya. Aku tahu kok kalo kamu suka sama Jovan. Dan begitu pula dengan Jovan, tapi dia selalu pura-pura dibelakangku karena dia tidak ingin mengecewakan aku. Makasih ya Nay. Aku harap kita tetap bisa berteman dan tidak ada canggung setelah aku ungkapkan semuanya”, kata Gandi menjelaskan panjang lebar.
Aku benar-benar jadi serba salah. Tapi inilah yang terbaik. Kejujuran.
“Gandi, aku salut sama kamu. Makasih ya masih bisa berteman dengan aku meskipun aku tahu aku sudah menyakiti kamu mungkin”, kataku pada Gandi.
“Sama-sama. Ya sudah lah kalo begitu, aku pulang dulu. Rencananya hari ini aku pulang kampung, jadi aku harus cepet-cepet”, dan Gandi pamitan meninggalkan aku. Aku sungguh sangat lega akhirnya masalah Gandi terselesaikan juga. Dan sekarang aku sudah tidak ada beban lagi.
Dan akhirnya aku bisa lebih lega lagi sekarang.
“Nay”, teriak seorang lelaki memanggilku. Jovan memanggilku.
“Nay, mau kemana. Disini dulu aja ngobrol sama aku. Kalo sama Gandi asyik banget ngobrol, masa’ kalo aku yang ngajak kamu malah keburu pulang sih?”, kata Jovan padaku dan membuat aku mengurungkan niatku untuk pulang.
“Udah terima kejutan dari Gandi kan? Ada yang baru jadian nih. Ayo traktir aku”, kata Jovan mengejek.
“Jadi itu kejutan yang kamu maksud? Trus jadian? Sapa yang jadian?”, kataku ketus
“Lho, kan dia udah ungkapin perasaannya, kok belum jadian?”, kata Jovan sambil tertawa.
“Aku nolak dia”, jawabku singkat.
“Kok di tolak sih? Kan kasian Nay. Dia udah bela-belain ungkapin perasaannya”
“Kok jadi kamu yang sewot sih? Kan aku yang mau pacaran. Mau aku terima dia kek, mau ngga’ kek kan terserah aku”, aku memotong kata-kata Jovan yang sedikit mengesalkan.
“Tapi kenapa Nay, dia sudah baik banget sama kamu. Apa kurangnya dia?”, tanya Jovan padaku.
“Karena aku gak cinta sama dia. Aku harus bohongin perasaanku sendiri? Itu mau kamu? Kamu mau aku jadian sama Gandi?”, tanyaku ketus pula.
“Trus kamu cintanya sama yang kaya’ gimana? Bukannya habis patah hati ya? Ada yang udah nembak kok di tolak”, kata Jovan seolah memaksaku.
“Kamu. Kamu yang aku cinta. Puas?”, kataku ketus dan akupun beranajak dari tempat dudukku.
“Nay”, Jovan menarik tanganku. Menghentikan langkahku yang sudah benar-benar kesal pada Jovan.
“Tunggu Nay. Kamu bilang apa barusan?”, dan aku juga bingung kenapa aku bisa bilang seperti itu pada Jovan. Aku sadar apa yang aku katakan barusan menurunkan derajatku. Aku ungkapin perasaan aku sama dia?? Oh my God, aku harus gimana sekarang?
“Apa-apaan sih. Aku mau pulang, capek”, dan akhirnya Jovan melepas tanganku.
“Nay, aku suka sama kamu”, aku mendengar Jovan mengatakannya sebelum aku pergi. Aku membalikkan badan dan memandang Jovan di jarak 1 meter.
“Aku suka sama kamu. Aku juga gak tahu kenapa bisa begini”, dan hanya keluar kata-kata itu dari Jovan dan dia langsung pergi. Aku tidak mengerti apa maksudnya mengatakan suka sama aku. Suka, bukan cinta.
Kata-kata Jovan barusan membuyarkan konsentrasiku. Baru saja aku menyelesaikan masalahku dengan Gandi, sekarang aku malah memulai masalah lagi dengan Jovan. Apa yang aku katakan sama Jovan tadi benar? Apa aku benar-benar mencintai Jovan? Itu yang selalu menjadi pertanyaanku.
Dear Diary…Apa yang sudah aku lakukan tadi? Aku mengungkapkan perasaanku sama Jovan dan dia hanya bilang kalo dia suka sama aku. Hmmm… sebenarnya apa yang aku rasakan?? Aku sendiri bingung dengan semua ini. Suka, bukan cinta. Apa Jovan sudah punya pacar? Mita, ya Mita, aku ingat. Dia pernah menanyakan Mita padaku. Aku harus cari tahu besok.
***)
Lima hari sudah dari saat Gandi mengungkapkan perasaannya padaku dan dimulainya konflik dengan Jovan. Dan beberapa hari ini aku belum bertemu Gandi.
“Nay, tunggu?”, ternyta yang baru saja aku ingat malah langsung ada di hadapanku.
“Gandi. Apa kabar?”, tanyaku basa basi
“Ya seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja. Kamu kuliah hari ini?”
“Gak ada. Aku bosan di rumah, pengen jalan-jalan”, kataku singkat
“Kamu ada masalah? Kok sedih?”, Tanya Gandi padaku
“Gak ada apa-apa kok. Mungkin Cuma lagi kurang fit saja”, jawabku berusaha menyembunyikan masalah-masalahku terutama dengan Jovan.
“Aku tahu kamu lagi mikirin Jovan. Ada apa? Kamu bisa cerita sama aku. Jangan karena waktu itu aku ungkapin perasaanku, kamu jadi canggung sama aku. Cerita saja Nay”, kata Gandi menenangkan aku yang memang sedih.
“Kamu kenal Mita?”, tanyaku singkat
“Mita? Mahasiswa Biologi?”
“Iya”
“Ada apa dengan Mita? Aku gak kenal, tapi aku tahu dia”,
“Siapa dia?”, tanyaku pada Gandi
“Dia ya Mita?”, jawab Gandi santai
“Iya aku tahu. Ada hubungan apa dia dengan Jovan”, aku sudah tidak sadar dengan siapa aku bicara. Bisa-bisanya aku cerita sama orang yang sudah aku tolak. Apa dia tidak merasa sakit hati?
“Oh.. Dulu, Jovan memang suka sama dia. Dan sempet ngungkapin perasaannya. Tapi Mita nolak dia. Itu saja yang aku tahu karena akhir-akhir ini dia sudah jarang cerita sama aku”, kata Gandi menjelaskan semuanya.
“Sebenernya Jovan itu seperti apa sich sifatnya?”, tanyaku nekat pada Gandi karena aku sudah tidak tahu harus bertanya Jovan kepada siapa. Karena hanya Gandi yang tahu Jovan.
“Jovan ya seperti itu. Dia baik, dia sering sih cerita sama aku, tapi akhir-akhir ini dia tertutup sama aku. Mungkin dia hanya ingin menjaga perasaanku. Aku yakin dia suka sama kamu, dia cinta sama kamu”, kata Gandi bercerita meyakinkanku.
“Cinta? Apa iya dia masih punya cinta?”, tanyaku sinis.
“Ya punya lah. Tapi dia gak mungkin cerita sama aku karena dulu aku yang sering cerita kamu ke dia”, aku memandang Gandi yang bercerita panjang lebar tentang Jovan yang terlihat sangat santai dan tak ada beban.
“Gandi, terima kasih. Aku salut sama kamu. Meskipun aku sudah menyakiti kamu, tapi kamu masih membantu aku seperti ini. Meskipun aku sudah membuat kamu kecewa, tapi kamu lasih saja baik sama aku. Tidak seharusnya aku cerita semua ini sama kamu. Apalagi orang yang aku cintai sahabatmu sendiri”, kataku berterimakasih pada Gandi karena kebaikannya padaku.
“Sudahlah lupakan saja apa yang aku ungkapkan kemarin. Aku hanya ingin melihat kamu bahagia. Aku gak mau kamu sedih seperti ini. Aku akan lakukan apapun agar kamu bisa bahagia dan bisa ceria lagi seperti dulu. Seperti Nay yang aku kenal dulu.”, kata Gandi dengan semangat.
“Terima kasih Gandi. Tapi kamu gak perlu lakukan itu. Itu hanya akan merepotkanmu dan membuat kamu tambah sakit. Biarkan saja sampai dia jujur sama aku”, kataku sedih. Dan aku sangat bangga memiliki teman seperti Gandi.
“Nay,aku tinggal dulu, aku ada janji sama temenku. Jangan sedih lagi ya Nay. Aku pasti bantu kamu”, kata Gandi sebelum pergi meninggalkan aku. Dan Gandipun berlalu meninggalkan aku sendirian dan selang beberapa menit setelah Gandi sudah tak terlihat, tiba-tiba Jovan sudah duduk di sebelah aku.
“Lagi asyik banget ya ngobrol sama Gandi?”, kata Jovan yang tiba-tiba sudah datang dan duduk disampingku. Aku hanya diam saja tanpa ekspresi. Jovan selalu seperti itu. Selalu saja tiba-tiba muncul mengagetkanku.
“Sejak kapan kamu disini? Nguping ya?”, tanyaku ketus.
“Ngga’. Gak sengaja aja lewat sini. Ngapain juga nguping”,
“Mita gimana?”, kataku memotong pembicaraan Jovan yang tidak penting banget bagiku.
“Kenapa dengan Mita? Ada apa dengan dia? Dia nyari aku?”, tanyanya padaku seolah dia sangat mengharapkan Mita. Aku memandangnya tak mengerti.
“Kamu cemburu?”, tanyanya padaku dan hanya ekspresi seperti itu yang muncul dari mimik Jovan ketika aku Tanya Mita. Padahal aku serius menanyakan Mita dan tidak sedang bercanda.
“Ngga’”, kataku ketus. Masih bisa-bisanya dia bercanda disaat seperti ini. Kapan dia akan serius?
“Kok marah sih? Tadi sama Gandi enak banget ngobrolnya”,kata Jovan sambil senyam senyum menyindir.
“Karena dia gak nyebelin kaya’ kamu”, kataku singkat
“Aku nyebelin ya? Aku emang gak kaya’ Gandi kok. Makanya kamu pacaran sama Gandi aja. Dia lakukan apa aja buat kamu, tapi aku. Aku hanya bisa bikin kamu sebel aja”
“Usaha dong!”, bentakku pada Jovan. Aku sudah tidak sabar dengan sikapnya yang selalu seperti itu.
“Aku gak bisa”, kata Jovan dengan cukup tegas mengatakannya.
“Kamu ini kenapa sih? Hanya segitu saja?”, tanyaku ketus pada Jovan dan aku langsung meninggalkannya di Taman. Aku sedih kenapa bukan Gandi yang aku cinta, kenapa Jovan yang sikapnya selalu membuat aku kesal?
Aku pulang dan tak ada gairah untuk beraktifitas yang lainnya. Berkali-kali aku coba untuk menenangkan diriku dan berhenti memikirkan Jovan, tapi susah. Aku tidak bisa melakukannya. Yang ada aku selalu ingat Jovan. Entah sejak kapan perasaan ini muncul.
Sampai kapan kau gantung,alunan dering handphoneku membuyarkan lamunanku. Dan pesan ini ternyata dari Jovan.
Andaikan ku dapat mengungkapkanPerasaanku, hingga membuat kau percayaAkan ku berikan seutuhnya, rasa cintaku, selamanya, selamanya
Pesan yang di ambil dari lirik lagu dan berhasil membuatku tertawa.
Mungkin hanya bisa lewat pesan ini aku ungkapkan semuanya. Dan aku membalas pesannya.
Ucapkanlah kasih satu kata yang kunantikanSebab kutak mampu membaca matamu, mendengar bisikmuNyanyikanlah kasih senandung kata hatimuSebab kutak sanggup mengartikan getar iniSebab ku meragu pada dirimu
Selang beberapa menit, handphoneku kembali berdering dan tetap saja pesan itu dari Jovan.
Mengapa berat ungkapkan cintaPadahal ia adaDalam rinai hujan, dalam terang bulan, juga dalam sedu sedan-jovan-
Dan seperti itulah Jovan. Pesan-pesannya mungkin memang bisa menenangkanku malam ini dari kebingunganku. Akupun kembali membalas pesannya
Mengapa berat mengaku cintaPadahal ia terasaDalam rindu dendam, henning malamCinta terasa ada-Nay-
Dan ternyata Jovan benar-benar tidak bisa mengungkapkan perasaannya padaku. Dan tidak terasa air mataku menetes di malam kalut ini.
**)
Sudah sekitar 1 bulan ini, Jovan belum pernah mengungkapkan perasaaannya padaku secara langsung. Setiap pesannya selalu berisikan kata-kata sayang, bahkan dia memanggilku dengan panggilan sayang, tapi aku tak pernah tau apa maksudnya.
Usai kuliahku selesai, aku langsung keluar kelas dan tidak ingin menghiraukan Jovan karena sikapnya yang sudah mulai membuatku lelah. Ternyata Gandi sudah menungguku di luar.
“Nay”, sapa Gandi
“Gandi. Kamu udah tadi disini?”
“Iya. Nunggu kamu. Ke kantin aja yuk”, ajak Gandi dan akupun menyusulnya.
“Gimana Jovan?”, tanyanya langsung tanpa basa basi dan membuatku teringat lagi pada Jovan.
“Biasa saja. Aku bahkan tidak perna mengerti dia” jawabku singkat
“Maksud kamu?”, Gandi memancingku untuk bercerita. Mungkin hanya Gandi yang bisa aku ajak cerita, karena hanya dia yang mengerti aku dan juga Jovan.
“Dia selalu mengirimiku kata-kata sayang, bahkan dia memanggilku dengan panggilan sayang. Tapi aku tidak pernah mengerti apa maksudnya. Dia hanya bisa mengatakannya lewat sms, dan ketika aku bertemu langsung dengannya, dia hanya mengajakku bercanda saja, tak pernah aku mendengarkan kata-kata cinta, sayang itu langsung dari mulutnya”, aku bercerita panjang lebar pada Gandi.
“Mungkin aku sudah tahu apa alasannya. Dia tidak ingin menyakiti aku. Padahal aku sudah jelaskan ke dia kalo aku akan baik-baik saja dan lebih senang kalo dia yang pantas buat kamu. Aku sudah bilang sama dia, tapi dia tetap tak mau jujur sama aku. Dan jawabannya hanya satu, dia menunggu seseorang, dan aku tidak tahu siapa yang dia tunggu, kamu atau …”
“Atau Mita?”, potongku.
“Mungkin dia lebih mencintai Mita dari pada aku. Ya sudah lah, aku sudah lelah. Mungkin sudah saatnya aku melupakan dia. Mulai hari ini aku ganti nomor handphoneku. Aku hubungi kamu nanti dengan nomor handphone baruku dan aku gak mau Jovan tahu nomor baruku. Sudah saatnya aku lupakan dia”, kataku pada Gandi dan aku langsung pergi meninggalkan Gandi disana. Mungkin apa yang aku katakana benar. Aku harus melupakan Jovan. Sebisa mungkin aku harus melupakan Jovan. Dan aku putuskan untuk mengganti nomor handphoneku agar aku bisa melupakan Jovan.
**)
Baru satu hari ini aku ganti nomor handphoneku, rasanya sangat sepi tanpa ada pesan apapun dari Jovan. Ternyata aku merindukan pesan-pesan itu. Sangat susah bagiku melupakan Jovan. Akhirnya aku aktifkan kembali simcard lamaku. Ada banyak pesan dari Jovan.
(pertama)
Hay…. Lagi apa sayang?
(Kedua)
Kok gak di bales? Lagi sibuk apa?
(Ketiga)
Kamu kemana aja sih, smsku gak pernah kamu bales
(Ke empat)
Gitu ya? Kamu sudah mau melupakan aku?
Tak terasa aku meneteskan air mata setelah membaca pesan-pesan dari Jovan. Aku berfikir apakah sikapku seperti ini benar? Aku bingung. Apa aku harus membalasnya? Tapi keputusanku tetap saja untuk tetap menggati sim card aku. Setelah aku membaca semua pesan-pesan itu, aku ganti lagi ke sim card baruku. Dan aku tetap dengan keputusanku. Aku harus melupakannya.
Dan malam ini bintang-bintang indah di luar sana menemanikaku dalam tangisku, dalam kekalutanku.
**)
Pagi ini aku berangkat ke kampus dengan kondisi yang sangat tidak baik. Aku dengar Vio meneriakiku dari kejauhan, dan aku tidak ada hasrat untuk menoleh dan kubiarkan saja dia mengejarku.
“Nay, dari mana aja beberapa hari ini? Kenapa nomor handphone kamu ganti?”, tanya Vio nyeletuk
“Aku ada kok. Lagi males aja lama-lama di kampus”, kataku singkat berusaha menutupi kegalauanku.
“O ya, kenalin nih, Mita, temen kelasku”, Vio mengenalkan aku dengan temannya dan itu Mita, Mita yang pernah ada di hati Jovan.
Begitu kenalan dengan Mita, aku langsung menuju kelas karena melihat Mita, membuat aku emosi saja.
“Pantas saja jika Jovan lebih memilih Mita daripada aku. Sepertinya kepribadian dan kepiawaian Mita lebih baik daripada aku. Seorang aku yang hanya mahasiswa Ilmu Komuniasi”, gumamku dalam hati.
Aku tiba di kelas, ternyata tak seorangpun ada di kelas dan hanya ada satu orang dan begitu dia menoleh ke arahku, ternyata dia Jovan.
“Kenapa menghindar dari aku”, sapa Jovan begitu melihat aku yang masuk. Aku berusaha mengalihkan pembicraan.
“Temen-temen kemana? Ini kan udah siang, kok belum ada yang datang? Libur ya?”, tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Iya. Kamu ganti card, jadi gak ada yang menghubungi kamu. Kenapa ganti? Mau menjauhi aku?”, tanyanya ketus.
“Ngga’ kok. Pengen ganti suasana baru aja. Nanti kartu itu aku pake lagi”, jawabku singkat.
“Pengen suasana baru atau pengen menghindar dari aku? Sudah punya pacar baru ya?”.
“Kalo iya kenapa? Lagian aku juga masih belum punya pacar, apa salahnya dekat dengan seseorang?”, jawabku berusaha menutupi kegalauanku.
“Oh gitu? Ya sudah kalo emang mau kamu seperti itu?”
“Kamu maunya apa sih?”, aku langsung meninggalkan Jovan karena aku sudah tidak kuat lagi menanggapi setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Akupun lari meninggalkan kelas. Dan aku dengar Gandi memanggilku dan aku tidak menggubrisnya. Aku gak mau cerita sama dia dulu. Karena aku lebih memilih sendiri sekarang.
**)
Setiba aku di rumah,aku hanya habiskan waktuku di kamar dan hanya termenung saja disana. Hingga akhirnya aku tertidur di kamar dan alarm membangunkanku.
Aku terbangun dan langsung melihat handphoneku dan ternyata ada beberapa pesan. Pesan-pesan dari nomor asing yang tidak pernah aku tahu. Dan dari pesan terakhirnya adalah
Aku tunggu kamu nanti malam di Orange Café
Aku tidak tau siapa orang ini, dan seepertinya dari pesan-pesannya, dia benar-benar ingin bertemu denganku. Aku harus datang atau tidak? aku bingung di saat-saat seperti kondisiku sekarang ini.
Dan akhirnya aku bergegas untuk menemui orang asing ini sendiri.
Tak perlu menghabiskan waktu berjam-jam, aku sampai di tempat orang asing itu, aku berulang kali hubungi orang asing itu, tapi tak ada respon darinya. Dan akhirnya dia mengirim pesan menyuruhku ke atas, ke atap café itu. Di atap café itu memang banyak yang datang untuk melihat indahnya malam, tapi malam itu aneh, tak seorangpun disana.
Aku mencari dan tetap sepi. Dan aku dikagetkan seseorang yang sedang duduk di pojokan cafe. Dan Oh My God.. Itu Jovan. Jovankah yang mengajakku kesini dengan mengaku sebagai orang lain ini? Aku menghampirinya.
“Ngapain kamu disini”, dia terlihat bingung dan gugup mau jawab apa.
“Jangan-jangan kamu yang ngajak aku kesini?”, tanyaku langsung menerkanya begitu aku melihatnya kebingungan.
“Hah, engga’, aku lagi nunggu temen. Dia ngajak aku ketemu disini. Kamu sendiri ngapain disini?”, jawabnya gugup
“Aku juga lagi nunggu orang aneh yang ngajak aku ketemu disini. Tapi bodohnya aku mau aja datang kesini. Mungkin dia iseng ngebohongin aku, menjebak aku. Ya sudah lah, aku pulang saja”, kataku memalingkan badan hendak meninggalkan Jovan, tapi Jovan memegang tanganku.
“Nay tunggu. Mau temenin aku disini? Aku orang yang kamu tunggu.”, kata Jovan mengakui kalo dia yang mengajakku kesini.
“Jadi kamu yang nyuruh aku kesini?”
Jovan mengangguk. Aku sedikit kesal karena awalnya dia tidak mau jujur padaku.
“hatiku berkata aku harus segera pulang saja karena pertemuan inipun tidak mungkin memulihkan perasaan sakit hatiku, awalnya saja dia sudah tidak jujur”, batinku dan saat aku memalingkan badanku, Jovan kembali menarikku.
“Nay, aku mohon, temani aku malam ini saja”, kata Jovan lirih
Aku memandang wajah Jovan dan terlihat dia benar-benar serius, bukan lagi bercanda. Akhirnya aku urungkan niatku untuk pergi dan tetap disana bersama Jovan.
“Kamu dapet nomor baru aku dari siapa?”, tanyaku memulai percakapan.
“Ada deh pokoknya”, katanya menggandengku dan mengajakku duduk sambil melihat indahnya malam.
“Kenapa kamu ngajak aku ke tempat ini? Kamu gak suka ramai?”, tanyaku memulai pembicaraan yang sedari tadi kaku.
“Aku suka tempat yang sepi. Tenang rasanya berada di tempat ini. Kamu gak suka kesunyian?”, tanyanya balik.
“Suka sih, tapi g suka juga kalo sepi-sepi banget”, jawabku singkat.
Aku menunggu Jovan mengungkapkan perasaannya padaku malam ini. Tapi ternyata tak ada ungkapan itu hingga akhirnya aku nekad menanyakannya lebih dulu.
“Gimana dengan Mita? Kamu masih sayang sama dia?”, tanyaku memberanikan diri menanyakannya kepada Jovan
“Aku juga gak tahu”, dan selalu seperti itu jawaban dari Jovan.
“Sudah lah, gak usah ngomongin yang lain. Yang penting kan aku sama kamu malam ini”, kata Jovan dan meletakkan tangannya di pundakku, dan menggandengku.
“Kamu cinta sama aku?”, tanyaku nekad
“Kenapa kamu tanya itu? Perasaan cinta gak selamanya harus di ungkapin”, dan hanya itu jawaban dari Jovan dan aku memilih tidak menanyakannya lebih panjang lagi karena aku sudah bisa menebak jawabannya akan sama saja.
Tapi aku sudah sangat berterimakasih untuk malam ini. Malam ini akan menjadi malam terindahku bersama Jovan meskipun tak pernah ada kata jadian. Aku bisa menikmati indahnya malam ini bersama Jovan di tempat ini. Terima kasih Jovan
**)
Hari ini aku kembali berangkat ke kampus dengan senyuman karena kenangan indah itu meskipun tetap menyisakan luka.
Tiba-tiba Gandi menghalangi langkahku dan menyapaku.
“Nay, kaya’nya lagi seneng nih?”Tanya Gandi yang melihat aku lebih baik dari biasanya.
“Kamu yang ngasih nomor baruku sama Jovan? Makasih ya.. Meskipun dia tidak pernah ungkapkan perasaannya sama aku, setidaknya aku bisa bersamanya meskipun hanya semalam saja”, kataku dengan senyum sumringah.
“Sama-sama, tapi aku tidak bisa bantu banyak. Aku sendiri tidak bisa mengerti sikapnya akhir-akhir ini”, kata Gandi.
“Aku ke kelas dulu ya. Udah telat nih”, kataku pada Gandi.
Dan aku segera menuju kelas. Di kelas, aku melihat Jovan sama sekali tak bergairah. Dia terlihat lesu. Aku tak berani mendekatinya dan menanyainya karena itu artinya aku memberi kesempatan pada Vino untuk menyebarkan gossip-gosip. Dan aku juga tidak berani mengiriminya pesan. Dan hingga akhir kuliahpun dia tetap saja diam, tak melihatku sedikitpun. Entah ada apa dengan dia. Dia benar-benar aneh. Dan aku biarkan saja dia seperti itu karena aku sudah tahu sifatnya yang memang susah ditebak.
**)
Sudah satu minggu Jovan tidak menghubungi aku, tak ada pesan seperti biasanya. Dan aku juga sempat mendengar selentingan kabar kalo dia ingin pindah dari kelas ini. Aku bertanya-tanya kenapa. Mungkin sudah waktunya aku yang menanyainya kabar terlebih dahulu.
Van, kamu kenapa? Kok jadi pendiam? Biasanya kamu kirim pesan aneh-aneh sama aku
Dan Jovan membalas singkat.
Bisa ketemu sekarang juga? Aku tunggu di orange café, di tempat biasa.
Dan aku bergegas segera menemuinya. Ternyata dia sudah ada disana.
“Van”, sapaku begitu aku sampai. Jovan langsung menarik tanganku dan memelukku erat. Erat sekali seolah dia tak akan memelukku seperti ini lagi.
“Ada apa Jovan? Kenapa kamu menghindar dari aku?”, Jovan melepas pelukannya. Dia menggenggam tanganku seraya memandangku.
“Bukankah itu yang kamu mau Nay. Bukannya kamu ingin menjauh dari aku?”, kata Jovan lirih sambil kembali memelukku.
“Tapi bukan seperti ini Jovan”, jawabku dan Jovan memotong pembicaraanku sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
“Maafin aku Nay. Selama ini aku memang menghilang untuk mrmikirkan satu hal. Satu hal yang sangat penting bagiku. Selama ini aku memang salah yang tak bisa mengerti kamu. Mungkin salahku yang selalu seenakku saja. Aku memang tak bisa mengungkapkan perasaan aku sama kamu. Dan aku jujur sama kamu, aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu melebihi apa yang kamu tahu selama ini. Tapi aku tidak bisa memiliki kamu”, kata Jovan mengungkapkan perasaannya dan itu membuat aku kaget, tapi di akhir kata, dia berkata tak bisa memiliki aku.
“Kenapa Jovan? Karena Mita? Gandi? Kenapa harus membohongi perasaan sendiri? Sampai kapan harus seperti ini? Aku capek kamu selalu seperti ini, tidak pernah ada kejelasan. Aku capek Jovan?”, kataku dan tak terasa air mataku menetes. Jovan mengusap air mataku.
“Nay, maafin aku, aku tidak bisa sejauh itu. Aku salah sudah menggantung hubungan kita selama ini. Maafin aku Nay. Kamu harus menunggu terlalu lama. Tapi harus kamu tahu, aku Cinta sama kamu, aku sayang sama kamu”, kembali Jovan memelukku.
“Hubungan kita hanya akan menyakiti banyak orang”, kata Jovan dalam pelukannya. Aku menangis dalam pelukannya.
“Aku gak tahu apakah ini adil untukku, untuknya, dan untuk dia. Aku hanya bisa memendam perasaan ini selama ini. Dan mungkin sakarang sudah waktunya kita lupakan semuanya yang pernah kita rasakan. Kita tidak bisa bersama Nay”, kata Jovan dan semakin erat memelukku.
“Jadi itu keputusanmu?”, kataku dalam tangisan.
“Iya Nay, itu keputusan terbaik. Kita harus bisa menerimanya”
“Tapi kalo aku gak bisa lupakan kamu?”, tanyaku terisak
“Bisa Nay, kamu harus lupakan aku. Aku gak bisa bersatu sama kamu. Maafin aku Nay”, dan aku hanya menagis di pelukan Jovan. Jovan telah memutuskan untuk melupakan semuanya. Dan aku memeluk erat Jovan, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
“Jovan, terima kasih atas cinta kamu selama ini, terima kasih atas sayang kamu sama aku, terima kasih atas semuanya, atas semua kenangan kita, dan terima kasih atas pelukan terakhir kamu. Aku Cinta sama Kamu Jovan”, dan aku melepaskan pelukan Jovan, membalik badan dan pelan-pelan meninggalkan Jovan.
Mungkin memang ini keputusan terbaik. Aku harus melupakan semuanya, melupakan Jovan. Terima kasih Jovan. Aku Cinta Kamu, tapi benar Cinta tak harus memiliki.
**)
Tak bisa ku lupa saat-saat indah bersamamu
Semua cerita, mungkin kini hanya tinggal kenangan
Kuharus pergi meninggalkanmu di dalam sepiku,
Bukan inginku tuk menyakiti perasaanmu, Maafkan aku…..
Maafkan aku yang tak bisa menunggu hatimu
Lupakan saja diriku untuk selama-lamanya
Ku harus pergi meninggalkanmu di dalam sepiku,
Bukan inginku tuk menyakiti perasaanmu, Maafkan aku………
Tidurlah sayangku, mentari kan menunggu,
Sambutlah pagi nanti dengan hati tersenyum
Bermimpilah Cinta dengan segenap rasa
Kini tibalah saatnya, kita harus berpisah..
Maafkanlah aku yang tak bisa menunggu
Lupakanlah diriku untuk slama-lamanya….
Dan surat ini kembali membuat aku menangis dan memintaku agar tetap semangat dan mengingat bahwa CINTA TAK HARUS MEMILIKI
--THE END--
Hem...
BalasHapusAbis bca crtax. Yah, bnyk sih yg dmdivikasi. L' g slh Vio = Fara. Gandi = Nxxxxx kn? Trus Jovan = (kamu tau lah siapa orgx). Bgus bgt lho critax abis diedit. Oy, Gandi pas ngungkapin*prsaanx, dy g ngungkapin scra lngsung kn wktu itu?
Bgs bgt. Kyk novel wae.
Hahaha.. Lucu ya critanya... Best memory itu.. Bnyak yg d edit.. hahaha
HapusQ jd ktawa sndiri bacanya..
Kmu krim k mjlah lho, msti dmuat. Lmyn bs tmbh pnglmn n pmsukn. Hehe...
Hapus