Hembusan angin menerpa
wajahku di tepi pantai yang sangatlah indah. Kesegarannya, luasnya samudra yang
ada dihadapanku saat ini benar-benar sangat menakjubkan. Dan benar-benar
liburan yang sangat menyenangkan. Pagi yang sangat indah dengan deburan ombak yang sesekali membasahi kakiku.
Bunyi alarm di
handphoneku berdering mengingakanku hari ini adalah hari ulang tahun
tunanganku. Aku hanya tersenyum, ingin rasanya menemuinya dan menjadi oarng
pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Tapi itu tidak mungkin
mengingat jarak kita yang cukup jauh. Aku hanya bisa menghubunginya melalui
celuler. Tanpa pikir panjang, aku langsung
menghubunginya.
“Hallo sayang,masih sepagi ini telpon”, kata Fano diseberang
sana.
“Happy b’day ya… Mudahan-mudahan apa yang kamu harapkan
terkabulkan semuanya”, kataku di balik handphone kunoku.
“Terima kasih sayang. Ternyata masih ingat juga sama ulang
tahunku. Tapi aku masih ngantuk, udahan dulu ya. Makasih ya sayang”, kata Fano
dengan nada suara yang lirih karena sepertinya Fano benar-benar sudah tidur.
“Ya sudah kalo gitu.”, kataku mengakhiri pembicaraan. Aku sudah
hampir 2 tahun bertunangan dengannya. Fano adalah tipe cowok yang romantic,
humoris, baik dan sopan. Dia perfect buat aku. Mungkin karena hanya dia lelaki
yang singgah dihatiku karena aku tak pernah mengenal lelaki selama masa
remajaku atau memang dari perasaanku yang paling dalam. Biasanya dia rutin
menghubungi setiap saat, tapi akhir-akhir ini, sepertinya ada yang beda. Fano
sudah agak jarang menghubungi aku lagi. Tapi aku selalu positif thinking
tentang dia, karena dia pernah bilang kalo dalam suatu hubungan harus saling
percaya, dan aku percaya dia gak akan mengecewakan aku. Dan itulah aku yang
selalu mempercayainya.
**)
Hari ini aku pulang
dari liburan di Villa. Hari ini adalah pernikahan kakakku. Semua keluarga
berkumpul disini tapi tanpa adanya Fano. Fano juga sudah semakin jarang
menghubungiku lagi. Dan aku teringat semalam ayah memintaku untuk menghubungi
Fano dan akupun segera menghubunginya.
“Fan, kenapa kamu gak pulang? Ini kan hari pernikahan kakakku.
Bukannya aku sudah bilang ya sama kamu kalo kakakku nikah hari ini. Aku
tungguin kok gak dateng-dateng? Jadi jam berapa kamu datengnya?”, aku bertanya
panjang lebar karena aku mengharapkan dia datang hari ini.
“Yang nikah kan kakak kamu. Emang kita juga mau ikutan nikah?
Kamu aja yang nikah kalo gitu. Untuk apa sih aku pulang, emang ngaruh ya?”,
tanya Fano ketus dan sontak membuat aku kaget dengan jawabannya barusan.
“Kamu kenapa sich? Gak kangen ya sama aku?”, tanyaku ketus pula
karena aku terlajur kaget dengan sikapnya yang seperti itu.
“Sudahlah gak usah gitu. Kan bisa telpon juga. Aku sibuk gak
bisa pulang. Udah ya, kerjaanku numpuk nih, harus aku selesaikan sekarang
juga.”. fano langsung menutup telponnya tanpa mengucapkan salam. Aku kesal
dibuatnya. Aku semakin bingung kenapa Fano jadi berubah seperti ini.
“Din, sudah hubungi Fano?”, tanya ayah mengagetkanku.
“Ayah, sudah yah. Tapi Fano tidak bisa pulang, dia bilang dia
sangat sibuk sekarang”, kataku menyembunyikan kesedihanku. Tapi aku yakin ayah
pasti tau perasaanku saat ini.
“Sabar ya nak”, kata ayah sambil memegang pundakku.
Hampir saja air mataku menetes karena rasa sakit ini, tapi aku
tahan karena hari ini adalah hari bahagia kakakku, aku tidak boleh mengacaukan
acara ini.
**)
Sudah seminggu sejak pernikahan
kakakku, Fano selalu dengan nada ketus jika aku hubungi. Aku jadi bingung
dengan sikapnya sekarang. Dia sering berjanji akan pulang secepatnya tapi itu
hanya janji, dan dia juga sering telat menghubungi, selalu tidak tepat sesuai
janjinya. Suatu ketika dia menyuruhku menunggunya di taman dekat rumah. Aku
menunggunya, tapi ternyata dia tidak datang dan hanya meminta maaf. Akhirnya
aku sibukkan diriku dengan banyak kegiatan agar aku tidak terlalu berfikir
negative tentang Fano karena aku sudah pasrahkan semuanya pada Tuhan yang maha
tahu.
Hari
ini, ada seorang perempuan yang menghubungiku. Perempuan yang baru saja aku
kenal melalui celuler. Dia mengaku sebagai sahabat dari pemuja rahasiaku.
Namanya Rika. Dia mengajakku bertemu di taman deket rumahku. Dan akupun segera
menemuinya. Aku tengok tidak seorangpun di kursi taman, dan aku menunggunya.
“Hai Diana”, sapa seorang gadis dari belakangku.
“Hmm… Kamu Rika?”, tanyaku melihat gadis asing yang menyapaku.
“Iya, kenalkan kau Rika”, dia mengulurkan tangannya padaku. Aku
tak perlu lagi menyebutkan namaku karena dia sudah hafal namaku.
“Ada apa kamu ajak aku kesini?”, tanyaku memulai pembicaraan
denganya yang terasa sangat asing buatku.
“Aku Cuma ingin berteman dengan kamu. Kamu gak nolak kan?”,
tanyanya padaku dengan tingkahnya yang terlihat ingin sekali lebih akrab
denganku.
“Dengan senang hati. Senang berteman denganmu.”, kata Rika mengakrabkan diri. Sepertinya dia gadis yang
baik.
“Oh iya, aku tahu kamu dari Dika sahabatku yang selama ini
diam-diam suka sama kamu. Setiap pagi dia selalu memperhatikanmu dari jauh
meskipun kamu tidak pernah sadar itu”, Rika menceritakan sahabatnya yang cukup
membuatku besar kepala dan tersanjung akan perhatiannya sama aku meskipun tak
di tunjukkannya langsung sama aku.
“Kenapa dia gak pernah menemui aku?”, tanyaku penasaran seperti
apakah sebenarnya cowok itu.
“Dia sadar kalo kamu hanya mimpi buat dia, dia sadar kamu gak
mungkin bisa terima cintanya jika dia ungkapkan sama kamu. Semunya akan
percuma”, Rika memandangku dengan penuh arti sambil menceritakan bagaimana
perasaan Dika yang belum pernah aku kenal.
“Kenapa? Belum apa-apa kok udah nyerah? Kalo dia bener-bener
suka sama aku, pasti apapun dia lakukan kan?”
“Tapi tidak merebut kamu dari tunanganmu kan?”, Rika langsung
memotong pembicaraanku dan keluarlah kata-kata itu.
“Tunangan? Kalian tahu dari mana aku sudah punya tunangan?”,
tanyaku heran. Dia ungkit masalah tunangan.
“Itu yang jadi alasan Dika selalu mengurungkan niatnya untuk
menemui kamu. Dia sadar kamu sudah milik orang lain”
“Tapi hanya segitukah perjuangannya?”, potongku ketus. Entah
kenapa aku jadi penasaran sama Dika. Dari apa yang Rika ceritakan padaku,
sepertinya Dika sangat mencintaiku.
“Sudah lah Diana. Dia akan baik-baik saja. Oya, tunanganmu
sekarang dimana?”, Rika mengalihkan pembicaraan. Dan mengingatkanku lagi pada
Fano yang sudah berubah sejak dia selalu bilang sibuk dengan kuliahnya dan
lantas membuat aku sedikit kesal dibuatnya.
“Tunangan? Dia kuliah di
Bandung. Dia di universitas ternama disana”, kataku menceritakan detailnya
Fano.
“Bandung? Jauh banget Dian? Kamu gak takut dia akan ninggalin
kamu?”, Rika membuat aku khawatir dengan kata-katanya barusan.
“Kamu tahu pergaulan di Bandung?”,
“Jelas tahu lah Diana, aku kuliah di Bandung, tapi bukan di
kampus tunangan kamu. Tapi aku punya banyak temen di kampus tunangan kamu.
Namanya siapa? Mungkin aku bisa cari tahu tentang dia?”,ternyata dia juga dari
Bandung. Mungkin dia bisa carikan info apa sebenarnya kesibukan Fano disana.
“Namanya Fano. Dia sangat perhatian, tapi entah akhir-akhir ini
dia sangat sibuk”, kataku sedih
“Sibuk? Dia gak pulang? Bukannya sekarang udah libur ya disana?”
“Mana aku tahu? Aku gak ngerti seperti apa kesibukan mahasiswa”,
kataku lirih.
“Bandung bukan tempat yang dekat, dan bukan tempat yang tepat
untuk hubungan kalian. Susah menjalin hubungan dengan jarak jauh seperti itu.
Kamu cinta mati sama dia?”,
“Cinta mati? Membingungkan. Cinta mati sih ngga’, tapi aku mencinta
dia. Dulu aku terima lamarannya karena dia ngancam orang tuanya akan berhenti
kuliah kalo orang tuanya tidak mau segera melamarku. Akhirnya aku terima dia
karena aku dipaksa oleh orang tuaku”, entah apa yang mendorongku untuk
bercerita seperti itu? Mungkin karena aku kesal pada Fano yang sudah seperti
agak melupakan aku.
“Dia masih sering menghubungi kamu?”, tanyanya padaku sambil
menyodorkan makanan untukku.
“Iya,dia tetap sering telpon aku, tapi sudah sering gak tepat
dengan janjinya. Telponku malah jarang diangkat sekarang”. Aku menceritakan
semuanya sama Rika. Padahal aku tahu dia baru saja aku kenal, tapi sepertinya
aku lega sudah menceritakan semuanya padanya.
“Mudah-mudahan aja dia setia”, kata Rika sambil menggenggam tanganku.
“Sudah lah gak usah ingat dia. Trus gimana cerita tentang Dika?
Dia kerja?”, tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Iya, dia sudah kerja. Dan tempat kerjanya selalu melewati depan
rumah kamu”, kata Rika sambil tertawa.
“Kenapa gak kamu ajak saja dia ketemu aku?”
“Aku gak mahu ngecewain dia Din. Aku sahabatnya sejak kecil aku
gak mahu hanya mendapatkan harapan dari kamu, sedangkan kamu sudah punya
tunangan”,
“Tunangan kan, belum nikah juga. Tunangan kan masih bisa putus.
Nikah aja bisa cerai, apalagi tunangan?”, kataku sambil bercanda dengan Rika.
“Kamu serius? Berarti rasa sayang kamu sama tunangan kamu gak
sebesar yang aku pikirkan dong”, dia menerka perasaanku terhadap tunanganku.
“Mungkin saja”, jawabku tenang. Sejak aku berbicara dengannya
dari tadi, aku teringat Fano. Caranya berbicara sama dengan Fano, persis dengan
logatnya.
“Kamu mengingatkan aku pada Fano. Tadi siang dia telfon aku.
Logat bicaramu persis dengan Fano”, aku senang bisa mengenalnya meskipun aku
baru saja mengenalnya. Aku jadi punya temen ngobrol.
“Aku pulang dulu ya. Besok-besok kita ketemu lagi. Tapi
ketemunya disini ya. Aku gak mau ke rumah kamu. Malu”, dan dia berpamitan
pulang dan dia mengajakku bertemu dia lagi besok.
Diapun berlalu dan aku masih memilih tetap berada di taman,
merenungkan apa saja yang telah aku bicarakan pada Rika, terutama Dika yang
membuatku sangat penasaran. Sudahlah, lupakan saja. Fano sekarang sudah jarang
banget menghubungi aku. Di telfonpun jawabannya selalu ketus. Apa dia bosan
sama aku? Itu yang selalu aku tanyakan
pada diriku sendiri.
**)
Pagi ini aku kembali ke
taman untuk menepati janjiku kemarin untuk bertemu dengan Rika. Aku berharap
Rika datang bersama Dika.
“Hey, lama nunggunya?”, Rika datang mengagetkan aku.
“Mana Dika? Kok kamu sendirian? Katanya kamu mau ngajak dia”,
tanyaku pada Rika yang datang sendirian.
“Dia gak mau. Belum siap sakit hati katanya. Hehehe”
“Kamu ada-ada aja”, kataku tertawa
“Eh gimana tunangan kamu? Udah hubungi kamu lagi? Ternyata
temenku satu kampus sama tunangan kamu tapi dia gak kenal sama tunanganmu”,
Rika nyeletuk seeanknya. Itu jugalah yang membuat aku suka berteman dengannya.
“Fano? Belum ada kabar tentang dia”, aku terdiam saja karena aku
tidak ingin membahas Fano hari ini.
“Sekarang gentian kamu dong yang cerita”, kataku mengalihkan
pembicaraan.
“Aku? Ada apa denganku?”, tanyanya tertawa sinis.
“Kok gitu ekspresinya? Tentang cinta kamu lah. Kamu udah punya
pacar? Ada di Bandung juga?”,
“Iya. Dia sekarang lagi dirumahnya. Sayangnya aku ada diposisi
yang tidak mengenakkan. Cinta segitiga”, dia bercerita sedih. Aku bisa lihat
dari caranya berbicara dan dari raut wajahnya.
“Kenapa? Kamu cerita deh sama aku. Ada apa?”, tanyaku berusaha
menjadi teman yang baik. Mungkin dia butuh bantuanku.
“Namanya Fanny”, aku kaget ketika dia menyebut namanya. Sama
dengan nama yang biasa di pake Fano. Nama samarannya Fano.
“Fanny? Sama seperti nama samarannya Fano ya. Dia satu kampus
sama kamu?”, tanyaku penasaran. Karena aku takut yang dimaksud adalah Fano.
“Iya lah, satu kampus sama aku. Bukan Fano, dia kan beda kampus
sama aku”, dia meyakinkanku kalo Fanny bukan Fano.
“Oh, aku kira Fano tunanganku. Terus, kenapa dengan posisi
kamu?”, sambungku penasaran.
“Dia sudah punya tunangan. Sama seperti kamu. Dia udah hampir 2
tahun tunangan”
“Dia dijodohin”, tanyaku sambil memegang tangannya. Aku masih
berfikir Fanny itu adalah Fano.
“Ya gak lah. Pilihannya sendiri. Mana ada di Jakarta dijodohin?
Udah gak jaman. Dia kan anak Jakarta”, jawabnya dan lagi-lagi membuat ku lega
begitu tahu dia dari Jakarta.
“Kamu sudah tahu sejak awal kalo dia udah punya tunangan?”
“Iya. Sebelum dia nembak aku, dia sudah bilang kalo dia sudah
punya tunangan. Tapi ku bilang jalani saja bersamanya. Karena aku cinta sama
dia. Dia janji sama aku bakalan putusin tunangannya. Tapi aku gak pernah memaksanya.
Itulah kesalahanku. Menerimanya yang sudah punya tunangan.” Dia berada diposisi
yang sangat berlawanan denganku.
“Aku Tanya sama kamu. Seandainya posisi kamu sebagai
tunangannya, apa yang kamu lakukan? Ini seandainya. Tenang saja, bukan Fano
kok”, aku kaget, aku semakin takut Fano yang dimaksudnya.
“Aku akan putusin pertunanganku karena aku sudah dibohongin. Aku
akan marah banget. Dan aku akan sangat marah sama kamu dan gak akan memaafkan
kamu”, aku mengatakan sejujurnya perasaanku jika akulah yang dimaksud.
“Dia sukanya apa? Pake baju kaos panjang?”, tanyaku karena aku
masih penasaran.
“Iya, tapi kaos pendek. Kamu masih penasaran ya? Bukan Fano
Din”,
“Handphonenya Warna hitam Orange?”
“Kamu introgasi aku. Diana, bukan Fano kamu. Iya dia pake
handphone hitam orange seperti yang kamu makdud, tapi itu handphone baru, yang
lama itu handphone jadul, masih tetep ada sampai sekarang”
“Kamu gak lagi bohongin aku kan”, tanyaku penasaran.
“Diana, aku tahu wajah tunangannya. Fanny pernah menunjukkannya padaku.
Tenang aja. Udah lah, gak usah bahas dia lagi”, aku terdiam. Aku memang sedikit
lega jika memang bukan Fano, tapi masih ada sedikit kecurigaanku. Beberapa
menit kemudian, Rika dijemput temennya. Dia akan kembali ke Bandung hari itu
juga.
“Din, temenku sudah menjemput. Aku harus kembali ke Jakarta
karena kuliahku gak bisa lama-lama aku tinggal. Aku pulang untuk Dika. Aku akan
suruh dia segera menemui kamu”, dia berpamitan pergi dan dia akan berangkat ke
Bandung dan aku gak akan ketemu dia lagi. Pertemuan singkat yang cukup
menyenangkan.
“Rika, terima kasih ya sudah mau kenal dengan aku. Pertemuan
singkat yang menyenangkan”, Rika tersenyum melihatku. Seperti ada yang dia
sembunyikan dariku. Dia menatapku penuh arti tapi aku tak tahu maksudnya.
“Din, maafin aku ya. Aku berangkat dulu. Mudah-mudahan kita bisa
bertemu lagi”, dan kata maaf itu mengakhiri pertemuan kita. Kata maaf yang
tidak aku mengerti maksudnya, tapi sepertinya kata maaf itu sangat mengandung
arti. Tapi aku belum tahu maksudnya apa, dan dia sudah tidak akan bertemu
dengaku lagi. Aku kembali teringat tentang Fanny dan Fano yang sedkit memiliki
kemiripan cerita. Tapi sudah lah, mungkin itu hanya perasaanku.
**)
Malam ini aku masih
bingung dan khawatir, aku putuskan untuk menghubungi Fano, karena beberapa hari
ini dia tidak ada kabar.
“Hallo”, Deggg… Jantungku seolah berhenti berdetak mendengar
suara yang menerima telponku. Suara perempuan, bukan suara Fano. Aku langsung mematikan
handphoneku. Aku tak bisa percaya Fano selingkuh disana.
“Kenapa Fano tega lakukan semua ini sama aku?”, pekikku dalam
tangisanku. Baru kali ini aku tahu Fano selingkuh dibelakangku.
Karena aku selalu berfikir dia akan pegang janjinya unuk tidak
menyakiti aku. Aku tidak pernah habis fikir Fano akan lakukan ini padaku. Ini
sudah malam, apa yang mereka lakukan disana? Kenapa ada perempuan? Perasaanku
sangat kacau waktu itu, tapi aku hanya bisa menangis saja. Kesal, kecewa
menyelimuti tidurku yang tak bisa nyenyak.
***)
Pagi ini aku putuskan untuk ke Villa untuk menenangkan hatiku
yang sedang kalut.
“Yah, Diana mohon ijin perhi ke Villa. Diana sedang ingin
refreshing disana”, pamitku pada ayah.
“Kamu ada masalah Din? Ada apa?”, tanya ayah penasaran dengan
sikapku yang sering termenung beberapa hari ini.
“Tidak ada apa-apa ayah. Diana hanya ingin liburan kesana”,
kataku menutupi kegelisahan.
“Baiklah. Ditemeni temenmu saja ya, nanti biar P.Amin yang
mengantarmu kesana”, kata ayahku dan benar-benar membuatku sedikit lega dapat
ijin dari ayah.
Akupun segera berkemas
untuk segera berangkat ke puncak sambil menunggu P.Amin supir pribadi ayah
datang. Temanku yang akan menemanikupun sudah datang. Terdengar suara mobil ayah di luar dan akupun
langsung berpamitan pada ibu untuk berangkat ke puncak.
Mobil melaju dengan
cepat. Karena aku meminta P.Amin untuk mempercepat lajunya karena aku ingin
segera duduk dipinggir pantai menyendiri menenangkan diri.
Satu jam sudah
perjalannku dan kini sampailah di Villa tujuanku. Aku meminta P.Amin membawa
barang-barangku ke Villa dan aku langsung menuju pantai yang indah dan duduk
menikmati angin pantai yang menerpa wajauhku. Dering handphone mengagetkanku
dan ternyata Fano yang menghubungiku. Tanpa pikir panjang, aku langsung
menerima panggilannya.
“Jadi seperti itu maksud kamu? Jadi selama ini kamu tunangan
sama aku karena terpaksa? Kamu gak sayang kan sama aku? Kamu dipaksa sama orang
tuamu untuk tunangan denganku kan? Ternyata semuanya sama saja”, Fano langsung
saja nyeletuk sebelum aku bicara apapun padanya. Aku tertegun kaget mendengar
yang sudah dikatakan Fano padaku dan aku sadar, pastilah Rika yang sudah menceritakannya.
“Jadi perempuan yang udah mengaku Rika itu yang sudah cerita?
Dengarkan aku dulu Fano. Kamu lebih percaya dia dibandingkan aku? Kamu gak mau
dengerin aku?”, tanyaku dalam tangisku.
“Apa yang lagi yang mau dijelaskan? Bukankah sudah jelas kamu
gak sayang sama aku, kamu terpaksa memilih aku”, Fano tak memberikan aku
kesempatan untuk bicara, dan dia langsung menutup telfonnya. Dan aku coba berkali-kali
aku menghubunginya lagi, tapi tidak ada jawaban dari Fano. Aku benar-benar
kalut. Perasanku hancur dengan semua ini.
Kenapa kamu
gak mau denger aku? Ya Allah,aku juga ingin bahagia. Kenapa kamu lakukan itu
sama aku?”
Pesan itu aku kirimkan ke Fano, dan Fano langsung menghubungi
aku.
“Fan, aku bisa jelasin semuanya. Dia tiba-tiba datang dan
mengorek banyak tentang aku. dan…”
“Dan aku sudah tahu semuanya. Kamu mau dikenalin sama Dika kan,
kamu juga dipaksa ayah kamu kan agar mau bertunangan denganku”, Fano memotong
pembicaraanku.
“Lalu perempuan semalem yang tidur bersama kamu siapa”, tanyaku
kesal.
“Handphoneku dibawa temenku sudah beberapa hari ini. Itu
alasanku gak pernah hubungi kamu. Sudah jelas. Kalo kamu sudah mau putusin aku,
silahkan, urus semuanya”, Fano langsung memutus pembicaraannya. Aku larut dalam
tangisanku. Aku sudah tidak tahu harus bagaiman lagi. Fano sudah tidak mau
mendengarkan aku lagi. Di pinggir pantai, di hadapan samudra luas, aku
berteriak, meluapkan rasa kesal, kecewa dan sakit hatiku pada lautan.
Sungguh tidak adil. Kenapa
harus aku yang merasakan ini? Apa salahku sampai aku rasakan sakit hati
mendalam seperti ini? Betapa bodohnya aku. Teriakku pada lautan yang cukup
menguras tenagaku.
***)
Hari keduaku di Villa
aku habiskan duduk di pinggir pantai. Bahkan pulang ke Villa hanya di tengah
malam saja.
“Diana”, sapa seorang lelaki dibelakangku.
“Ayah”, kataku dan langsung memeluk ayah.
“Kenapa ayah kesini? Ayah liburan juga”, tanyaku berusaha
menutupi kesedihanku.
“Ani, temenmu menghubungi ayah. Dia bilang kamu gak mau makan
dan selalu menghabiskan waktumu disini dengan menangis. Ada apa Din? Cerita
sama ayah”, ayah memelukku, menenangkanku di pelukannya.
Tiba-tiba saja air mataku menetes dan aku sudah tidak bisa menutup-nutupi
kesedihanku lagi.
“Hubunganku sama Fano gak bisa dilanjutkan lagi yah. Diana udah
gak kuat seperti ini. Mungkin dia lebih senang dengan orang lain. Diana pengen
mutusin pertunangan ini saja”, tangisku malah semakin menjadi di pelukan ayah.
“Dia selingkuh?”, tanya ayahku
“Diana gak tahu yah. Ada seorang perempuan menemui aku dan
berawal dari situlah masalahnya”, aku menceritakan panjang lebar tentang Rika
yang tiba-tiba datang menemui aku. ternyata sedari tadi ibu juga ada di pantai
dan mendengarkan ceritaku.
“Fano keterlaluan. Ibu tau dia punya banyak pacar disana. Ibu
sering liat dia telfon-telfonan kegirangan di jalan ketika dia pulang. Untuk
apa dipertahankan? Putusin saja”, kata ibuku marah-marah. Tangisku semakin
menjadi.
“Kamu jangan sedih ya, kita ke Villa dulu sekarang. Kamu istirahat
dulu. Nanti ayah hubungi keluarga Fano”, kata Ayah menenangkanku.
Dan ayah membopongku ke Villa dan menemaniku di ruang tamu
bersama ibu. Ayah langsung menghubungi pihak keluarga Fano dan menjelaskan
semuanya. Namun belum ada kata putus dari ayah.
“Ayah, kenapa ayah tidak langsung memutuskannya saja ayah?”,
kataku heran.
“Diana, semuanya masih bisa dibicarakan baik-baik. Kamu tunggu
saja kabar dari Fano, semuanya pasti akan baik-baik saja”, kata ayahku
mempertahankan pendapaynya. Dan aku
benar-benar harus menuruti apa mau ayahku. Meskipun perasaanku sudah sangat
hancur.
“Mungkinkah aku bisa memaafkan Fano?”, pekikku dalam hati.
**)
Aku masih menunggu
Fano menghubungi, tapi sudah dua hari belum ada kabar dari dia. Dan aku sudah
tidak lagi di Villa karena Ibu dan ayah kawatir dengan keadaanku jika aku tetap
di Villa. Aku hanya mengurung di kamar saja beberapa hari ini.
Aku mendengar telfon rumah berdering, ibu yang angkat telfonnya. Aku lihat ibu marah-marah, dan ternyata itu Rika yang ingin meminta maaf padaku. Dia juga berkali-klai telfon ke handphneku tapi tidak pernah aku jawab karena aku terlanjur sangat kecewa padanya. Rika yang sudah aku anggap sahabatku, ternyata dia menusukku dari belakang. Dan aku hanya bisa meratapi kesedihanku di kamar berhari-hari. Dan masih tetap tidak ada kabar dari Fano.
Aku sudah lelah
menunggunya. Sampai hari keempat ini Fano tidak menghubungiku. Betapa bodohnya
aku sebagai perempuan. Bisa-bisanya kau sangat percaya sama cinta Fano
kepadaku, ternyata dia mempermainkan aku dan betapa bodohnya aku mempercayai
Rika yang baru saja aku kenal dan aku sudah menceritakan hal bodoh itu. Dan
sudah tidak ada gunanya lagi menyesali. Aku tidak kuat dengan semua ini. Dan aku
beranikan diri meminta pada ayah untuk menyudahi pertunangan ini.
“Yah, Diana sudah tidak kuat. Diana sudah tidak mau pertunangan
ini dilanjutkan yah. Tolong ayah segera hubungi keluarga Fano, karena aku ingin
lega dan tidak memikirkan ini terus-terusan yah”, kataku memohon pada ayah.
“Diana, ayah dan papa Fano sudah merencanakan pernikahan kalian
setelah hari raya ini sayang”, kata ayah
“Tapi diana gak mau menikah dengan laki-laki yang tidak
mencintai Diana yah”, kataku kesal dan langsung kembali ke kamar meninggalkan
ayah dan ibu.
Ternyata ayah
benar-benar mengabulkan permintaanku. Hari itu juga ayah memutuskan
pertunanganku dengan Fano. Dan sudah satu minggu ini aku terbebas dari ikatan
pertunangan itu. Aku sadari aku benar-benar kesepian, sakit hati ini rasanya,
perih rasanya harus menerima kenyataan pahit ini. Pernikahan yang sudah tinggal
beberpa minggu lagi, akhirnya berakhir di bulan penuh berkah ini, di bulan suci
ramadha.
“Din, mau temenin Ibu ke Mall? Yuk, biar kamu bisa refreshing”,
ajak ibu padaku dan akupun langsung mengiyakan agar aku tak selalu mengingat
Fano. Dan Om Feri, paman Fano tiba-tiba sudah di depan rumahku saat aku hendak
berangkat ke mall bersama ibu. Aku kira akan ada kabar gembira datang karena
sejujurnya aku masih mengharapkan Fano.
Tapi ternyata dia datang untuk mengembalikan fotoku yang pernah aku berikan padanya dan mengantarkan baju yang terlanjur dibelikan oleh ibu Fano untukku. Sungguh semakin hancur hatiku begitu om Feri datang ke rumah mengembalikan fotoku. Fano benar-benar sudah melupakan aku. dia sudah melupakan aku. Aku coba untuk tetap tegar dan menerima kenyataannya. Dan kuurungkan niat untuk ikut bersama ibu ke mall dan ibu sangat mengerti itu.
Tapi ternyata dia datang untuk mengembalikan fotoku yang pernah aku berikan padanya dan mengantarkan baju yang terlanjur dibelikan oleh ibu Fano untukku. Sungguh semakin hancur hatiku begitu om Feri datang ke rumah mengembalikan fotoku. Fano benar-benar sudah melupakan aku. dia sudah melupakan aku. Aku coba untuk tetap tegar dan menerima kenyataannya. Dan kuurungkan niat untuk ikut bersama ibu ke mall dan ibu sangat mengerti itu.
Aku memilih berdiam
diri di kamar saja, berusaha menepis rasa sakitku yang teramat ini. Dan mengumpulkan
segala kenanganku bersama Fano.
**)
Hari-hari kulalui dengan luka yang membekas. Perpisahan ini bukanlah pilihanku. Fano pergi meninggalkan aku. Aku memang pernah memujamu, mencinatimu setulus haatiku. Aku tak pernah membayangkan Fano akan melukaiku seperti ini. Ternyata Fano menduakan aku, menghianati cintaku. Fano sudah menghancurkan mimpiku. Sakit yang aku rasakan ini tidak akan mudah sirna, aku juga tak tahu sampai kapan aku akan membawa sedihku ini sendiri. Perasaan sakit hati yang teramat ini benar-benar menyiksaku dan aku sadari aku sangat mencintai Fano.
Dan memang sangat
membekas luka itu di hatiku. Sampai hampir 1 tahun aku tidak bisa menerima
laki-laki lain di dalam hidupku. Sampai akhirnya aku mendapat kabar Fano akan
menikah. Dia akan menikah dan mendhahului aku. Fano benar-benar sudah melupakan
aku.
Undangan pernikahannyapun sampai di tanganku. Tapi bukan nama Rika yang ada dalam undangan itu. Nama orang lain. Aku benar-benar harus bisa melupakan Fano. Dia sudah menjadi milik orang lain sekarang.
Undangan pernikahannyapun sampai di tanganku. Tapi bukan nama Rika yang ada dalam undangan itu. Nama orang lain. Aku benar-benar harus bisa melupakan Fano. Dia sudah menjadi milik orang lain sekarang.
Hari ini pernikahan
Fano. Ternyata aku tidak bisa bohong pada diriku sendiri kalo aku masih mencintainya
dan belum bisa melupakannya. Tapi semuanya sudah berakhir.
Iringan pengantin lewat di depan rumahku. Aku melihat sedih dari rumahku. Ini adalah hari bahagia Fano dan kehancuranku.
Iringan pengantin lewat di depan rumahku. Aku melihat sedih dari rumahku. Ini adalah hari bahagia Fano dan kehancuranku.
Mungkin seperti inilah
takdir cintaku bersama Fano. Semuanya tinggal kenangan saja. Dan aku tidak
boleh terus-terusan larut dalam kesedihan ini.
“Selamat menempuh hidup baru Fano. Aku pernah sangat mencintaimu
dan ternyata seperti ini akhirnya. Terima kasih atas cintamu dulu padaku dan
terima kasih atas luka ini”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar